Menafsirkan Al-Qur’an dengan Hermeneutika

Mungkinkah Menafsirkan Al-Qur’an dengan Hermeneutika?

Hermeneutika secara umum, adalah ilmu takwil atau interpretasi sejak masa yunani kuno, memiliki makna yang sangat luas yaitu sejumlah pedoman untuk pemahaman teks-teks yang bersifat otoritatif. Kata hermeneutika atau hermeneutic, adalah pengindonesiaan dari kata inggris hermeneutics, kata ini berasal dari yunani yaitu hermeneuin, yang arti konvensionalnya adalah teori atau ilmu takwil dan tafsir (inpretasi), berarti mengungkapkan atau mentafsirkan pikiran-pikiran seseorang, atau menerjemahkan kedalam bahasa yang lebih terang dapat dipahami dengan menformatnya kedalam sebuah ungkapan atau statemen.

Mencermati asal kata hermeneutika yang diadopsi dari mitos yunani, sebuah indikasi kuat bahwa hermeneutika adalah kajian ilmiah tentang penafsiran teks-teks suci, dan erat kaitannya dengan pemahaman bahasa, yang menurut teologi keristen khatolik (ortodox) bahwa teks-teks bible memiliki otoritas dan kemampuan dalam mengungkap pesan-pesan teks bible itu sendiri, tanpa hermeneutika. Hal ini senantiasa mendapat keritikan tajam di sepanjang era gerakan reformasi oleh kalangan keristen protestan, mereka mengajarkan bahwa pemahaman makna spiritual suatu teks tidak berasal dari teks atau dari informasi teks, tapi melalui pemahaman simbolik yang merujuk kepada sesuatu diluar teks. Metode ini dikenal sebagai alegoris yang dikembangkan lebih lanjut oleh philo of alexandrea (20 SM- 50 M). Seorang yahudi yang kemudian dikenal dengan bapak methode alegoris.

Dari berbagai corak pendekatan metodologi yang ada dalam hermeneutika, hermeneutika menganding pemahaman umum yang mengandung asumsi dan konsekuensi, antara lain:

Pertama: menyamakan semua teks, tak ada teks sakral dan transenden, termasuk Al-quran itu sendiri, Kedua: Dalam pemahaman umum hermeneutika, teks dibentuk oleh konteks historis dimana ia berasal, termasuk teks Al-quran, jadi cendrung memandang teks adalah produk budaya. Karena bahasa manusia bersifat historis, spesifik dan linguistik, berbeda dengan bahasa Tuhan yang universal , transenden dan multilingual. Tekstualisasi kalamullah dalam bahasa manusia adalah reduksi tahap awal berkenaan dengan konsep keabadian firman Tuhan, dimana kalamullah yang azali kemudian meruang dan mewaktu.

Ketiga: Penganut hermeneutika mengembangkan sikap kritis, skeptis, curiga, dan meragukan kebenaran dari manapun datangnya, terus terperangkap dalam lingkaran hermeneutika, karena sebuah teks tidak bisa dilepaskan dari keterlibatan kepentingan-kepentingan baik dari pembuat teks, begitupula budaya masyarakat dimana ia dibentuk.

Keempat: Hermeneutika menganut relativisme epistemologi, tidak ada interpretasi yang mutlak benar, yang benar menurut seorang boleh jadi salah menurut orang lain, jadi ia relatif dan tentatif. Yang menentukan kebenarannya adalah konteksnya (waktu dan tempat) tertentu.

Berbeda dengan tradisi keilmuan Islam, ketika berinteraksi dengan teks, memiliki sekat-sekat tertentu untuk melihat keabsahan dan kebenaran sebuah teks, antara lain:

Pertama: metodedologi dalam menguji validitas proses transmisi (penukilan) teks,dari si pembicara ke pembaca (mukhatab).

Kedua: metodologi pemahaman secara seksama dan akurat terhadap kandungan implisit dan eksplisit dalam teks-teks tersebut.

Ketiga: metodologi penilaian hasil konklusif, tentang makna dan tujua-tujuan yang terkandung dalam teks-teks tersebut, yang telah dipastikan kevaliditasannya dalam neraca akal (kaidah-kaidah ilmu dan epistemik secara umum), untuk purifikasi dan mengetahui sikaf rasio terhadapnya.

Sudah sebuah kemestian sebagai hal yang sangat signifikan dalam tradisi islam, adalah mengetahui faliditas dan memastikan outensitas teks-teks keagamaan secara umum, khususnya Al-quran. Agar terjaga dari distorsi dan manipulasi dari tangan-tangan manusia.

Suatu hal yang ironis dan pelik, kalau Al-quran mau di sejajarkan dengan teks-teks yang lain, dengan menginkari bukti-bukti historis yang valid (mutawatir), dan fitrah manusia yang menerima khabar mutawatir sebagai ilmu pasti.

Al-quran yang bersumber dari Yang Pengetahuan-NYA Maha Mutlak, menhendaki agama-NYA untuk berlaku setiap zaman, senantiasa mengekspresikan kebenaran itu sendiri dalam ruang obyeknya, melintasi ruang dan waktu, tidak relativ dan berubah-ubah sebagaimana pengetahuan manusia, Ia senantiasa sejalan dengan maslahat manusia bersamaan tabiat kemanusiaanya. Konsisten terhadap semua aturan yang berdimensi ketuhanan dalam memahami teks, adalah sebuah keniscayaan, agar transedenitas teks tetap menjadi (dhabit) pengontrol dan standar dalam interpretasi dan praktisi. Berbeda dengan pemahaman relativisme, yang akan menkaburkan tujuan agama dan melucuti teks dari kompotennya sebagai standar.

Disinilah, diantara akar perbedaan ideologi konsep islam dengan propaganda kritik wacana keagamaan kekinian, yang menganut Dikotomi ideologi, menganggap mustahilnya pemahaman obyektif terhadap wacana keagamaan, dan kemestian pemahaman relativisme, yang menafikan kemanpuan teks sebagai media penyampai pesan, ide dan gagasan pengarang ke pembaca. Sebagai implikasi filsafat hermeneutika Heideigger dan Gadamer, menganggap bahwa interpreter tidak netral dalam setiap proses pemahaman, karena cakrawala wawasan, intelejensinya, dan kecendrungannya ikut terlibat sebagai ideologi dalam mengiterpretasi teks.

Bagaimana mungkin manusia mampu menyelami ilmu pengetahuan Allah yang tak terbatas. Sekalipun teks-teks Al-quran berangkat dari waktu dan konteks tertentu, akan tetapi kebenaran yang dibawahnya adalah mutlak yang terkait erat dengan obyeknya.

Penulis sangat respek dengan pemahaman-pemahaman umum hermeneutika sebagai metodologi dalam pendekatan-pendekatan menginterpretasi teks-teks, tapi untuk diterapkan dalam kitab suci Al-quran dan teks yang berdimensi keilahiyan lainnya perlu dipertimbangkan ulang, melihat konsekwensi dari implikasi negatif yang ditimbulkannya, karena tidak netral (bebas nilai), sarat dengan nilai dan asumsi-asumsi filosofis, teologi, budaya, agama,dan lain-lain.

Sebuah tindakan bijak dan ideal, kalau segala hal-hal baru dan asing dan datang dari luar tradisi epistemologi keislaman, jika disikapi secara ilmiah tampa apriori “Inna Llaha yansuru Al-islam bina wa bigairina),dan (Al-hikmatu dha-latu Al-mu’min), agar ditelaah dulu secara saksama, apa manfaatnya pada umat dan apa sesuai dengan nilai-nilai islam.

Artikel ini merupakan saduran dari artikel kompasiana 
Halaman Selanjutnya
« Prev Post
Halaman Sebelumnya
Next Post »
Thanks for your comment